Minggu, 08 Oktober 2017

Keyboard

Latihan :-)

Kamis, 23 Juli 2015

Doa Rabithah: Doa di Sepanjang Mihwar Dakwah

Oleh : Cahyadi Takariawan

Siang tadi (Sabtu 3 Desember 2011), saya mengikuti acara Tatsqif Kader Dakwah di Markaz Dakwah Gambiran, Yogyakarta. Ustadz Tulus Musthafa menyampaikan tausiyah yang sangat mengena. Penjagaan terhadap kader pada era dakwah di ranah publik harus semakin dikuatkan. Sarananya, kata beliau, telah terangkum dalam Doa Rabithah yang rutin kita baca setiap pagi dan petang.
Sembari mengikuti tausiyah beliau, ingatan saya menerawang jauh ke belakang…..
Suatu masa, di era 1980-an…..

Tigapuluh tahun yang lalu, beberapa orang aktivis dakwah, tidak banyak, hanya beberapa orang saja, duduk melingkar dalam sebuah majelis. Di ruangan yang sempit, diterangi lampu temaram, duduk bersila di atas tikar tua, khusyu’, khidmat, tawadhu’.
Tidak banyak, hanya beberapa orang saja. Berbincang membelah kesunyian, pelan-pelan, tidak berisik. Semua datang dengan berjalan kaki, naik sepeda tua, atau naik kendaraan umum saja. Pakaian mereka sangat sederhana, apa adanya, bersahaja. Hati mereka sangat mulia.

Duapuluh tahun yang lalu, beberapa orang itu bercita-cita tentang kejayaan sebuah peradaban. Cita-cita besar, mengubah keadaan, menciptakan peradaban mulia. Wajah mereka tampak teduh, air wudhu telah membersihkan jiwa dan dada mereka. Tidak ada yang berbicara tentang fasilitas, materi, jabatan dan kekuasaan.
Mengakhiri majelis, mereka menundukkan wajah. Tunduk dalam kekhusyukan, larut dalam kehangatan persaudaraan, hanyut dalam samudera kecintaah. Doa Rabithah mereka lantunkan. Syahdu, menusuk kalbu.
Air mata berlinang, bercucuran. Akankah segelintir orang ini akan bisa mengubah keadaan ? Akan beberapa orang ini akan mampu menciptakan perubahan ? Hanya Allah yang mengetahui jawaban semua pertanyaan. Doa telah dimunajatkan, dari hati yang paling dalam :
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.
“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.
Sejuk, menyusup sampai ke tulang, mengalir dalam darah. Meresap hingga ke sumsum dan seluruh sendi-sendi tubuh. Merekapun berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat. Masing-masing meninggalkan ruangan. Satu per satu. Hening, tenang. Tidak ada kegaduhan dan kebisingan.

Masa bergerak, ke era 1990-an
Sekumpulan aktivis dakwah, cukup banyak jumlahnya, berkumpul dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Ruang itu milik sebuah Yayasan, yang disewa untuk kantor dan tempat beraktivitas. Mampu menampung hingga seratus orang. Semua duduk lesehan, di atas karpet. Lampu cukup terang untuk memberikan kecerahan ruang.

Sebuah Daurah Tarqiyah dilakukan. Para muwajih silih berganti datang memberikan arahan. Taujih para masyayikh di seputar urgensi bersosialisasi ke tengah kehidupan masyarakat, berinteraksi dengan tokoh-tokoh publik, memperluas jaringan kemasyarakatan dengan pendekatan personal dan kelembagaan. Semua aktivis diarahkan untuk membuka diri dan berkiprah secara luas di tengah masyarakat. Membangun jaringan sosial dan membentuk ketokohan sosial.

Sekumpulan aktivis dakwah, jumlahnya cukup banyak, datang dengan mengendarai sepeda motor, beberapa tampak mengendarai mobil Carry dan Kijang tua. Wajah mereka bersih, bersinar. Penampilan mereka tampak intelek, namun bersahaja. Sebagian berbaju batik, sebagian lainnya berpenampilan rapi dengan setelan kemeja dan celana yang serasi.

Acara berlangsung khidmat dan sederhana. Namun sangat sarat muatan makna. Sebuah keyakinan semakin terhujamkan dalam jiwa, bahwa kemenangan dekat waktunya. Kader dakwah terus bertambah, aktivitas dakwah semakin melimpah ruah. Semua optimis dengan perkembangan dakwah.
Usai acara ditutup dengan doa. Hati mereka khusyu’, jiwa mereka tawadhu’. Sekumpulan aktivis dakwah, cukup banyak jumlah mereka, menengadahkan tangan, sepenuh harapan dan keyakinan. Munajat sepenuh kesadaran :
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.
Mereka berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat dan hangat. Hati mereka tulus, bekerja di jalan kebenaran, pasti Allah akan memberikan jalan kemudahan. Doa Rabithah mengikat hati-hati mereka, semakin kuat, semakin erat.
Perlahan mereka meninggalkan ruangan, menuju tempat beraktivitas masing-masing. Khidmat, hening, namun tetap terpancar wajah yang cerah dan harapan yang terang benderang.

Masa terus mengalir, sampai ke era 2000-an….
Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Memenuhi ruangan ber-AC, sebuah gedung pertemuan yang disewa untuk kegiatan. Diterangi lampu terang benderang, dengan sound system yang memadai, dan tata ruang yang tampak formal namun indah. Tampak bendera berkibar dimana-mana, dan sejumlah spanduk ucapan selamat datang kepada peserta dipasang indah di berbagai ruas jalan hingga memasuki ruangan.

Sebuah kegiatan koordinasi digelar untuk mempersiapkan perhelatan politik tingkat nasional. Para aktivis datang dengan sepeda motor dan mobil-mobil yang tampak memadati tempat parkir. Mereka hadir dengan mengenakan kostum yang seragam, bertuliskan kalimat dan bergambarkan lambang partai. Di depan ruang, tampak beberapa aktivis berseragam khas, menjaga keamanan acara.
Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Mereka duduk berkursi, tampak rapi. Pakaian mereka formal dan bersih, sebagian tampak mengenakan jas dan dasi, bersepatu hitam mengkilap. Sebagian datang dengan protokoler, karena konsekuensi sebagai pejabat publik. Ada pengawal, ada ajudan, ada sopir, dan mobil dinas.

Para qiyadah hadir memberikan arahan dan taklimat, sesekali waktu disambut gegap gempita pekik takbir membahana. Rencana Strategis (Renstra) dicanangkan, program kerja digariskan, rancangan kegiatan telah diputuskan, para kader siap melaksanakan seluruh keputusan. Acara berlangsung meriah, diselingi hiburan grup nasyid yang tampil dengan penuh semangat.
Acara selesai, diakhiri dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, memimpin doa, munajat kepada Allah dengan kerendahan hati dan sepenuh keyakinan akan dikabulkan. Doa pun diumandangkan :

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.

“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.
Acara resmi ditutup. Para aktivis berdiri, berjabat tangan, meninggalkan ruangan dengan khidmat. Terdengar kebisingan suara sepeda motor dan mobil yang mesinnya dihidupkan. Sepeninggal mereka, tampak panitia sibuk membereskan ruangan.
Masa cepat bergulir, hingga di era 2010-an…..

Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Harus menyediakan ruangan yang sangat besar untuk menampung jumlah tersebut. Ruang kantor Yayasan sudah tidak bisa menampung, ruang pertemuan yang sepuluh tahun lalu digunakan, sekarang sudah tampak terlampau kecil. Harus menyewa gedung pertemuan yang memiliki hall besar agar menampung antusias para aktivis dari berbagai daerah untuk datang.

Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Mereka datang naik pesawat, berasal dari Aceh hingga Papua. Berseragam rapi, semua mengenakan atribut dan jas berlambang partai. Peserta yang datang dari wilayah setempat datang dengan mobil atau taksi. Semua tampak rapi dan bersih.

Ruangan yang besar itu penuh diisi para aktivis dakwah yang datang dari seluruh pelosok wilayah. Dakwah telah tersebar hingga ke seluruh penjuru tanah air. Sebagian telah menempati posisi strategis sebagai pejabat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, baik di eksekutif maupun legislatif. Hadir dengan sepenuh keyakinan dan harapan akan adanya perubahan menuju pencerahan.

Berbagai problem dan persoalan diutarakan. Berbagai ketidakpuasan disampaikan. Banyak kritik dilontarkan. Banyak saran dan masukan diungkapkan. Semua berbicara, mengevaluasi diri, mengaca kelemahan dan kekurangan, memetakan arah tujuan, namun tetap dalam bingkai kecintaan dan kasih sayang. Para aktivis sadar bahwa masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan yang harus terus menerus diperbaiki dan dikuatkan. Semua bertekad untuk terus berusaha menyempurnakan.

Sang Qiyadah memberikan taujih dengan sepenuh kehadiran jiwa, “Nabi telah berpesan, bahwa sesungguhnya kalian dimenangkan karena orang-orang lemah di antara kalian. Maka tugas kita adalah selalu memberikan perhatian terhadap masyarakat, terlebih lagi kelompok dhuafa. Termasuk dhuafa di antara kader dakwah. Jangan pernah melupakan kerja para kader yang telah berjuang di pelosok-pelosok daerah. Lantaran kerja merekalah kita diberikan kemenangan oleh Allah”.

Lugas, tuntas. Arahan telah sangat jelas. Acara pun berakhir, ditutup dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, mengajak semua peserta menghadirkan hati dan jiwa, dengan khusyu’ munajat kepadaNya agar senantiasa diberikan pertolongan dan kekuatan. Doapun dilantunkan :

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu”.
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar”.

“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu”.
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin”.
Ternyata, doa Rabithah telah menghiasi perjalanan panjang kami. Bergerak melintasi zaman, dengan beragam tantangan, dengan aneka persoalan. Para aktivis selalu setia dengan arah tujuan, bergerak pasti menuju ridha Ilahi. Doa Rabithah tidak pernah lupa dimunajatkan, di waktu pagi dan malam hari.

Kesetiaan telah teruji pada garis waktu yang terus bergerak. Lintasan mihwar membawa para aktivis menuju kesadaran, bahwa kejayaan adalah keniscayaan, selama isi Doa Rabithah diamalkan, bukan sekedar diucapkan…..

Kabulkan permohonan kami, Ya Allah….

Musyawarah MALIKI SMA N 7 Purworejo, 2011
Sudahkah kita mengingat mati hari ini?
Sedangkan maut tak pernah memberitahukan kapan datangnya
Sudahkah kita mencurahkan segala cinta kita untuk-Nya subuh ini?
Sedangkan belum tentu nikmat iman berpadu selamanya di dalam diri
Sudahkah wahai Ikhwah?

Bismillah…

dakwatuna.com - Sejenak, marilah kita sama-sama renungkan tentang karya-karya yang telah dihasilkan orang-orang mulia. Bagaimana kisah Salman Al-Farisi, lelaki Persia dengan segala kemuliannya. Yang meskipun hanya meninggalkan beberapa harta ketika meninggal masih saja menangis karena merasa punya tanggung jawab yang besar kepada Allah swt. Atau cobalah kita saksikan keyakinan yang begitu kuat yang dimiliki oleh Khalid bin Walid bahwa Allah akan membantunya, dan dengan tenang menerima tantangan meminum minuman beracun dari pasukan Romawi.

Merekalah orang-orang mulai yang begitu teguh keyakinannya kepada Allah. Iman yang melekat di dalam diri mereka laksana darah yang mengaliri semua bagian tubuh mereka, iman bagi mereka adalah harta paling berharga, karena dia memberikan energi untuk bergerak, membongkar kemalasan yang sering mendera, dan iman bagi mereka adalah sumber kekuatan terbesar, terdahsyat, dan tak tergantikan oleh apapun.

Merekalah orang-orang mulia yang tercatat dalam sejarah bahwa meninggalnya mereka selalu dalam keadaan syahid, bahwa kehidupan mereka laksana air penyejuk bagi orang-orang di sekitar mereka, bahwa akhlaq
 mereka begitu dekat dengan Al-Qur’an, bahwa keberanian mereka membela agama Allah begitu membara di dalam jiwa.
Ya… Merekalah orang-orang yang hatinya selalu terhimpun untuk berjuang di Jalan Allah. Dengan bekal keimanan dan ketakwaan yang begitu kuat. Mereka mencapai kemuliaan hidup yang sangat sulit kita rasakan.

Saudaraku….

Keberhasilan meletakkan Allah di dalam diri mereka, adalah karena usaha yang begitu keras untuk selalu dekat dengan-Nya. Mereka tidak lena di malam hari, dibuai mimpi atau lebih memilih bersenang-senang dengan istri-istri mereka, mereka tidak pernah takut jika harus mengorbankan jiwa dan raga mereka untuk agama Allah, mereka orang yang selalu bersemangat tatkala masa jihad telah tiba. Karena saatnya mereka membuktikan kecintaan dan keimanan mereka kepada Allah swt.

Lalu…

Mari kita bandingkan diri-diri kita dengan mereka.
Coba kita tengok berapa lama kita habiskan waktu kita untuk mengingat mati?
Berapa lama kita habiskan untuk men-tadabburi ayat-ayat-Nya?
Berapa lama kita memeras keringat untuk menguatkan jalan dakwah ini?
Berapa lama wahai ikhwah?
Berapa lama?

Betapa jauh….
Betapa jauh jika kita bandingkan dengan pengorbanan mereka.
Betapa kita sering berkeluh kesah, marah, kecewa, benci, bahkan kata-kata tak sanggup mengemban amanah dakwah ini begitu sering terucap.
Lantas jika mental ini dimiliki oleh seorang ikhwah kapan kita bisa membangun bangsa?
Kapan kita bisa merubah peradaban ummat?
Kapan wahai ikhwah?
Kapan?

Menunggu kalian berhenti menyelesaikan permainan game di depan komputer?
Menunggu kalian siap untuk menjadi Murabbi?
Menunggu kalian selesai tidur setelah subuh untuk datang syura?
Menunggu dan menunggu?
Itu yang ingin kalian katakan wahai ikhwah?

Wahai ikhwah

Hari ini…
Sudahkah kita ingat seberapa besar amal yang kita kerjakan?
Sudah berapa lembarkah tilawah kita?
Masihkah sujud di malam hari kita kerjakan?
Masihkah kita mengingat bahwa lapar di siang hari adalah energi bagi jiwa-jiwa para da’i?
Masihkah kita merenung bahwa bekal yang paling baik adalah iman dan takwa?
Masihkah dan masihkah wahai Ikhwah ?

Wahai ikhwah….
Sudahkah diskusi-diskusi keseharian kita bermuatan ilmu dan saling nasihat-menasihati ?
Sudahkah cerita-cerita kita berujung kepada perbaikan diri-diri kita ?
Sudahkah forum-forum syura kita menghasilkan kerja-kerja dakwah yang menggerakkan ?
Sudahkah wahai ikhwah ?
Sudahkah ?

Mari kita bertanya..
Jika saat ini, masih saja banyak kader yang lemah, masih saja dakwah ini tersendat-sendat, mari kita bertanya ke dalam diri kita..

Sudah dekatkah kita dengan-Nya ?
Sedangkan DIA adalah Zat Pemberi Kemenangan.
Sudah kuatkah amalan-amalan kita kepada-Nya ?
Sedangkan ia adalah senjata orang-orang yang mulia
Sudah seberapa jauhkah kita membuat tubuh ini letih bekerja di jalan-Nya ?
Sedangkan keletihan senantiasa melahirkan getar-getar iman yang mendalam..

Jika belum..
Mari sama-sama kita renungkan..

Keep Hamasah..
Allah mencintaimu…
Yogya, 10 Maret 2009
Di ujung Subuh yang memerah
Untuk sebuah kerinduan pada sosok-sosok mulia di lintasan zaman, terima kasih telah memberi inspirasi.. semoga ruh dan semangat itu selalu mengalir di dalam diri-diri kita. Meski wajah-wajah mereka (mungkin) takkan pernah kita saksikan.
Meski malam yang larut telah lewat
Ingin kukenang masa-masa itu
Ketika bumi Andalusia berhasil ditaklukkan
Ketika kemenangan perang Badar membahana di seantero Arab
Ketika Bilal bin Rabah meneriakkan ahad.. ahad.. ahad..
Ketika Ali RA syahid menjelang fajar
Ketika Umar RA berjalan dan membuat syaitan ketakutan..
Ya…
Aku ingin mengenang masa itu..
Agar diri merasa
Diri terpesona
Pada mereka..
Sosok-sosok yang mulia.

secercah harapan dari belantara rimba




sebuah tulisan singkat ku, dulu....
ketika akan ku ayunkan langkah kaki ku..
menapaki episode kehidupan..
jauh di perantauan





Assalamualaykum wm. wb.

Detik-detik menjelang pergantian waktu menuju 2 Desember 2011, di Bumi Sriwijaya
Sebuah kepingan waktu yang menyusun episode perjuangan untuk meniti jalan Illahi.
Sebuah usaha, yang dilakukan dengan segenap keterbatasan diri menuju kekayaan harapan..
Adalah ridho dan maghfiroh dari Robb semesta alam, tujuan yang menjadi sumber kekuatan.
Teriring basmallah pada setiap awal langkah, zikir di setiap tarikan nafas...
Semoga sedikit azzam di hati, kan memudahkan langkah menuju JannahMU....
Amin..

Wassalamualaykum wm. wb.


Minggu, 21 Juni 2015

Surat Terbuka Untuk Para Pejuang Dakwah

dakwatuna.com – “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang meyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mugkar; merekalah orang-orang yang beruntung” ( Al Imran; 104)

Untukmu para pejuang dakwah….

Pekerjaan mana lagi kah yang lebih mulia daripada menegakkan agama Allah yang semata-mata hanya mengharap ridha dari Allah? Pekerjaan mana lagi kah yang lebih beruntung daripada mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran? Jawabannya, tidak ada. Ya, tidak ada yang lebih mulia dan lebih beruntung dari berdakwah, mengajak hamba-hamba Allah lainnya untuk ikut merasakan nikmatnya sebuah iman. Bukankah surga terlalu luas untuk kau huni sendiri?

Untukmu para pejuang dakwah….

Untukmu yang telah memilih jalan ini, menjadi bagian dari perjuangan ini merupakan nikmat yang tidak ada duanya. Bersyukurlah, kau telah dipilih Allah memperjuangkan dan menyeru agamaNya. Yakinlah bahwa Allah tidak akan memberikan amanah kepada hambanya yang tidak mampu membawanya. Kau telah dipilih Allah karena Allah telah mengokohkan pundakmu untuk membawa amanah ini. Allah telah menambah stok sabarmu untuk mengahadapi ujian di jalan ini. Nikmatilah setiap detiknya, karena tanpa sadar kumpulan dari detik, menit, jam, bahkan tahun yang dilalui di jalan ini akan menjadi saksi atas perjuanganmu di hadapan Allah, kelak. Insya Allah.

Untukmu para pejuang dakwah….

Berapa banyak yang sudah mundur teratur di jalan ini karena tidak sabar menghadapi ujian-ujiannya. Jalan ini memang tidak mudah, kawan. seperti kata Hasan al-Banna ; Andai perjuangan mudah, pasti ramai yang menyertainya. Andai perjuangan ini singkat, pasti ramai yang istiqomah. Andai perjuangan ini menjanjikan kesenangan dunia, pasti ramai orang yang tertarik padanya. Tetapi hakikat perjuangan bukanlah begitu, turun-naiknya, sakit-pedihnya, umpama kemanisan yang tak terhingga. Kalau dakwah saja mungkin semua orang bisa, tapi yang berdakwah dan mencintai dakwah-lah yang sulit. Karena perjuangan ini membutuhkan orang-orang yang memiliki azzam dan tekad yang kuat.

Untukmu para pejuang dakwah….

Ajruki ‘ala qadri nashabik, pahalamu sesuai kadar payahmu. Salah satu sifat Allah adalah Maha Adil. RIdho dan pahala yang diberikan Allah kepada kita, sesuai seberapa banyak tetesan keringat dan darah yang kita korbankan untuk Allah di jalan ini. Tetaplah berjuang, wahai pejuang. Surga telah merindukan kalian, surga merindukan generasi-generasi Ash Shiddiq Abu Bakar yang berjuang di jalan Allah tanpa ragu, Al Faruq Ibnu Al Khaththab yang memakai keberaniannya untuk berjuang di jalan Allah, serta Al Amin yang selalu sabar menghadapi kerasnya jalan ini. Pun, kita rindu menjadi bagian dari mereka, serindu kita pada sambutan ini;

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Rabbmu dengan hati puas lagi diridhai, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam JannahKu…”(QS. Al-Fajr: 27-30)


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/05/06/68284/surat-terbuka-untuk-para-pejuang-dakwah/#ixzz3dhT0z1Eb 

Kalimat yang Membakar Umar bin Abdul Aziz dari Anak 17 Tahun

Belum lama Umar bin Abdul Aziz merebahkan badannya, datanglah Abdul Malik, anaknya yang saat itu baru menginjak usia ketujuh belas.
“Apa yang Anda lakakukan, wahai Amirul Mukiminin?” tanya Abdul Malik dengan sopan dan tegas.
Umar menjawab, “Anandaku, aku ingin istirahat sejenak. Tiada lagi tenaga yang tersisa dalam jasadku.”
Abdul Malik tak diam mendengar penuturan ayahandanya, “Apakah Anda akan istirahat sebelum mengembalikan harta yang diambil secara lalim kepada yang berhak, wahai kau Amirul Mukminin?”
“Wahai, Ananda, semalam suntuk aku tidak tidur mengurus pamanmu Sulaiman: Jika tiba waktu Dhuhur tiba nanti, Insya Allah akan aku lakukan hal tersebut.”
“Siapa yang menjamin hidup Anda sampai Dhuhur, wahai Amirul Mukminin?”
Kumpulan kata-kata itu seakan membakar kembali semangat Umar dan mengusir rasa kantuk dari kedua matanya, menyegarkan kembali kekuatan dan tekadnya pada tubuh yang lunglai dan capai itu.
“Ananda, mendekatlah kemari…!” ucap Umar.
Usai mendekat, Umar lantas mendekap hangat dan mencium keningnya seraya berucap, “Alhamdulillah. Segala puji milik Allah yang melahirkan anak keturunan yang membantuku dalam agamaku.”
Lalu, ia beranjak dan memerintahkan untuk menyeru rakyatnya, mengumumkan kepada mereka, “Ketahuilah, barangsiapa yang hartanya telah diambil secara lalim, hendaknya dia mengangkat permasalahannya.”
Maha Besar Allah. 
Sumber : http://bersamadakwah.net/kalimat-yang-membakar-umar-bin-abdul-aziz-dari-anak-17-tahun/

Taubatnya Sang Preman Sekolah


Tepat pukul 6.30 bel sekolah berbunyi. Khusus hari senin bel itu berbunyi dua kali karena ada upacara bendera rutin setiap minggunya. Hari ini tiba giliran kelas kami menjadi petugas upacara. Oleh karena itu, aku berangkat sekolah lebih awal dari biasanya.

Sesaat menjelang upacara di mulai, mendadak penglihatan ku mulai kabur dan gelap. Suara yang ku dengar juga mulai kacau, kecil dan tak terdengar lagi. Yang kurasa hanya badan ku melemah dan seolah melayang. Dan ………… aku pingsan.

Apa, aku pingsan ?

Seolah tak percaya karena aku memang belum ernah mengalaminya. Dibantu tim palang merah remaja, aku jalan terkulai menuju ruang kesehatan. Sebenarnya tidak jauh tempat itu dari lapangan upacara, namun karena kondisi ku lemah sehingga terasa berat.dan perlu bantuan orang lain untuk ke sana

Sesampainya aku di ruang kesehatan, tampak ada seorang siswa yang sangat aku kenal. Sayangnya bukan prestasi atau sikap baiknya yang menjadikan aku kenal, melainkan sikap kasar dan kenakalannya. Jujur saja aku lebih suka nongkrong di perpustakaan dari pada tinggal di ruang kesehatan bersama preman sekolah itu.

Sesaat terdengar suara komandan upacara pertanda upacara sudah di mulai. Ku pandangi suasana ruang kesehatan hingga lapangan upacara. Dari pinggir lapangan tampak bu Ani berjalan menyusuri pinggir lapangan. Ternyata beliau menuju ruang kesehatan ini. Beliau adalah wali kelas ku, jadi wajar bila beliau ingin tahu kondisi siswanya yang tidak mengikuti kegiatan rutin setiap hari senin itu.

Bu guru yang terkenal dengan logat khasnya itu menanyakan kondisi ku, sembari berjalan menuju almari minuman. Dibukanya pintu dan menawari minuman yang sudah disiapkan untuk siswa yang sakit.

“Gimana kondisi mu sekarang De ? Sudah lebih baik kan ? ini ibu ambilkan minuman biar kondisi mu cepat pulih” kata bu ani

“Alhamdulillah saya sudah lebih baik bu, Cuma sedikit pusing. InsyaALLAH kalo sudah tilawah, saya sehat lagi. Mungkin danang lebih perlu minuman itu bu” jawab ku sambil menoleh ke arah danang.

Danang yang dari tadi main hp dari balik selimut cuma mengangguk saja tanda ia setuju.
“ah, aklo danang sih ga usah di kasih. Dia kan malas ikut upacara, makanya pura2 sakit. Hey, kamu itu cepet hilang nakalnya, biar jadi anak pintar” kata bu ani sambil duduk di bangku administrasi kesehatan.

Aku pun cuma ketawa kecil

Setelah pusing ku sedikit hilang, ku ambil hp di kantong celana. Ku buka aplikasi quran, dan ku lanjutkan ngaji semalam yang tak sempat ku baca setelah sholat subuh. Mungkin ini yang menyebabkan ku lemah pagi ini. Oleh karena itu dengan semangat ku lanjutkan ngaji ku.

“De, kamu ga minum ya ? Kamu mesti minum, biar cepat pulih. Ingat pesan ibu ani tadi” kata danang sembari berjalan menuju pinggir jendela ruang kesehatan

“Aku puasa bro, insyaALLAH aku lanjutkan sampai maghrib nanti. Baru aku minum dan makan” Ku jawan pertanyaan danang. Dia hanya bengong mendengar jawaban ku

Aku baca Quran sambil sesekali ku lihat danang. Rupanya dia mendengarkan apa yang ku baca. Surat lanjutan ngaji ku pas di Surat Ar Rahman. Selesai dengan membaca, ku lanjutkan membaca arti setiap ayat surat tersebut.

Tiba2 ku dengar isak tangis seseorang. Makin lama makin kuat tangisannya. Meskipun ia berusaha menahan tangisnya, tapi aku yakin dia berada di dekat ku. Setelah aku selesai membaca terjemahan, aku baru memastikan dari mana suara isak tangis itu.

Masyaallah, ternyata danang. Danang bisa menangis ? Masa iya preman sekolah bisa nangis, adanya orang dibuat nangis sama dia ? atau jangan2 dia sakit, tapi sakit apa ya yang bisa bikin dia nangis ?

“Kamu kenapa danang ? sakit ya, sakit apa ? ayo bilang biar aku panggil petugas kesehatan sekolah” ku borong pertanyaan untuk memastikan ia baik2 saja

“De, aku capek… aku capek sama kenakalan ku selama ini. Aku pingin taubat, aku kapok” jawab danang sambil terisak.

Tentu saja jawaban itu membuat ku bingung. Apa yang bisa buat ia berkata seperti itu ?

“Ku dengar tadi quran yang kau baca, bergetar badan ku, sesak nafas ku. Tak terbayang begitu banyak dosa ku. Banyak maksiat yang telah ku lakukan, banyak nikmat tuhan yang tak aku syukuri. Dan sekarang aku pingin berubah” jawab dia sambil meringkuk di pojok ruang ini.

“Sebenernya sudah lama aku perhatikan kamu sama kawan2 lainnya, sholat di masjid sekolah, ngaji bareng, dan banyak kegiatan yang kalian kerjakan di sana. Sebenernya aku pingin ikut. Tapi… tapi…” iya tak sampai mampu melanjutkannya. Hanya tangisan saja yang bisa ia lakukan

“ Sabar Danang, tenang. Katakana saja, tapi apa ??” Tanya ku penasaran dengan kalimat sambungannya.

“Aku malu, aku merasa tak pantas duduk bersama kalian. Aku kotor, aku penuh dosa, dan aku tak layak. Jujur aku pingin berubah. Aku sadar selama ini hidup ku kacau. Apa kah kamu mau ngajari aku ngaji ? ngajari aku sholat ? ngajari aku agama ?”

Sungguh aku hampir tak bisa berkata2 lagi. Kaget bercampur kagum rasanya ku lihat seorang preman yang ingin berubah

“Tenang bro, insyaALLAH kami siap membantu. Aku juga masih belajar, ngajiku belum lancar, makanya perlu komunitas kebaikan untuk selalu saling mengingatkan. Kalo sudah kita sadari, bismillah saja. Kita jalani, terserah orang mau menilai apa. Yang penting kita makin dekat dengan allah swt. Karena IA lah sumber kekuatan dan ketenangan hidup kita.”

“Makasih bro, nanti tunggu aku ya di masjid pas jam istirahat pertama. Aku pingin sholat dhuha bareng kalian” kata danang sebelum kembali ke kelas

Wow, subhanallah.

Jujur, aku juga masih belajar. Aku juga ngerasa semua yang aku lakukan bersama kawan2 rohis adalah hal yang biasa. Lumrah gitu. Jalan sekolah bareng, ngerjain tugas bareng2, sholat dhuha bareng, sholat berjamaah dan ngaji bareng, dan semua kegiatan sekolah ataupun oranisasi kami lakukan bersama2.


Ternyata orang lain memperhatikan kita. Jika niat kita memang mencari rido allah swt, maka yakinlah gelombang kebaikan itu akan menyentuh hati orang lain dan mengajak bersama dalam kebaikan